Data BPS: 14,18 Persen Warga Mimika Miskin, 5,37 Persen Miskin Ekstrem
Senin, 20 Januari 2025 - 17:11 WIT - Papua60Detik

Papua60detik - Kemiskinan selalu jadi isu utama. Susahnya menurunkan angka kemiskinan kerap kali dikaitkan dengan ketidaksinkronan atau perbedaan data di setiap instansi.
Perbedaan data juga disebabkan oleh cara setiap instansi mengkategorikan seseorang itu disebut miskin. Ujungnya, program pemerintah tidak tepat sasaran.
Lalu, bagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan? Kepala BPS Mimika, Ouceu Satyadipura mejelaskan dalam mendefenisikan kemiskinan, BPS menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi makanan minimal 2100 kilokalori (kkal) per hari.
Sementara dari sisi bukan makanan, yang dilihat dari sisi pengeluaran per bulan. BPS menetapkan garis kemiskinan di Kabupaten Mimika adalah sebesar Rp1.099.143 per orang per bulan. Misalnya jumlah anggota rumah tangga sebanyak empat orang dan pengeluarannya kurang dari Rp4.396.572 perbulan, maka rumah tangga tersebut dikategorikan miskin.
Untuk kemiskinan ekstrim adalah kondisi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Kasarnya, seseorang ketika tidak dibantu tidak bisa makan.
"Kadang orang itu salah persepsi, miskin itu seperti apa. Terkadang standar BPS dan instansi lain di pemerintahan juga berbeda. Kami kan independen, tidak punya kepentingan apapun. Begitu kami merilis angka kemiskinan sekian, mungkin dari pemerintah daerah berpikir, kok, masih besar gitu ya. Padahal program sudah sedemikian banyak," terang Ouceu saat diwawancarai, Jumat (18/01/2024).
Dengan konsep pemenuhan kebutuhan dasar, BPS mencatat pada tahun 2024 persentase penduduk miskin ekstrem di Kabupaten Mimika 5,37 persen. Penduduk miskin mencapai 14,18 persen atau sekitar 32,09 jiwa. Angka ini naik dari 13,55 persen di tahun 2023. Namun, pada 15 tahun terakhir persentase penduduk miskin ini cenderung turun.
"Memang untuk kemiskinan, kita tidak pernah mengeluarkan angka absolute (jumlah orang pasti) karena begitu selesai kita hitung, dua hari lagi beda lagi, karena pola konsumsinya berubah. Jadi kita keluarkanlah sistem persentase dari jumlah penduduk," terangnya.
Melihat angka yang tinggi ini, Ouceu menyebut pemerintah perlu upaya lebih menurunkan persentase kemiskinan. Ia tak memungkiri, data yang tumpang tindih dan belum satu padu jadi soal sendiri. Misalnya BPS kerja sama dengan Bappenas mendapatkan data melalui Regsoseg. Sementara Dinas Sosial, Kementerian Sosial melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Itu sangat berpengaruh untuk menuntaskan data kemiskinan tadi. Penuntasan itu bisa saja kita lakukan seandainya seluruh program pemerintah membackup itu dengan bantuan-bantuan yang ada. Cuma, kan bantuan kadang tumpang tindih karena pendataan tentang masyarakat miskin itu tumpang tindih," pungkasnya.
Ouceu mengungkap ada fenomena di Mimika, banyak masyarakat Mimika yang ingin masuk kategori miskin karena ingin dapat bantuan. Ia memastikan fenomen ini tak berpengaruh ke data BPS. BPS tetap menggunakan metodologi yang mengacu pada konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. (Martha)